Kalau dalam dua tulisan terakhir sudah saya jabarkan secara singkat dua akar permasalahan bola
Indonesia yakni (1) fokus pengcab yang salah sekaligus pemakaian dana APBD secara salah ,serta (2)
kurangnya pendidikan pemain, pelatih, wasit dan penonton, maka kali ini secara
singkat akan saya jabarkan satu lagi akar permasalahan bola Indonesia yakni
penjaringan pemain.
Ada seorang pemain di pusdiklat swasta non profit yang saya bina
yaitu Malang FC yang saya ambil dari pedalaman Wamena. Laban umurnya baru 15
tahun tapi sudah mampu menjebol gawang Persisam Samarinda dua kali (satu gol
dianulir sehingga hasil akhir 1-1). Seorang pilot pedalaman yang
merekomendasikannya kepada saya. Yang saya sedang incar saat ini adalah seorang
anak kelas 3 SMP di pulau Sumba yang permainannya mirip Ronaldo. Menemukan
mereka ini sebenarnya bukan tugas saya. Cerita diatas hanya secuil ilustrasi
guna menggambarkan bahwa ada yang salah dalam sistim kita sekarang sehingga
tidak semua pemain berbakat terindentifikasi untu kemudian dibina. Nonsense kalau orang berbicara; “ Indonesia kan Negara besar, berpenduduk 230 jutaan jiwa, kok bisa kalah bersaing dengan negara-negara yang jauh lebih
kecil.” Pada kenyataannya pemain Indonesia tidak diambil dari 230 juta jiwa.
Angka sebenarnya jauh dibawah itu! Faktor keberuntungan dalam menemukan pemain
masih terjadi. Selain itu faktor kedekatan
atau koneksi masih terjadi. Pemain berbakat di daerah terbengkelai
sehingga mereka putus sekolah lalu bekerja karena faktor ekonomi, menanggalkan
bakat alam mereka yang luar biasa. Banyak pemain layu sebelum berbunga. Hasilnya timnas Indonesia masih jauh dari arti
kata sebenarnya: tim nasional!
Lalu solusinya bagaimana? Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya setiap PENGCAB mutlak memiliki sebuah PUSDIKLAT berkualitas yang didanai oleh APBD setempat. Seorang pemain yang menonjol di level SSB ataupun kejuaraan antar sekolah lalu ditarik masuk kedalam PUSDIKLAT setempat. Selain itu team scouting tingkat kabupaten/kota/kepulauan juga menjemput bola dengan cara terus mencari ke desa-desa kalau-kalau ada pemain yang tidak terjaring oleh SSB maupun sekolah. Penting untuk direalisasikan disini adalah anak-anak tersebut harus sekolah dan dipacu untuk memberikan yang terbaik di sekolah.
Lalu solusinya bagaimana? Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya setiap PENGCAB mutlak memiliki sebuah PUSDIKLAT berkualitas yang didanai oleh APBD setempat. Seorang pemain yang menonjol di level SSB ataupun kejuaraan antar sekolah lalu ditarik masuk kedalam PUSDIKLAT setempat. Selain itu team scouting tingkat kabupaten/kota/kepulauan juga menjemput bola dengan cara terus mencari ke desa-desa kalau-kalau ada pemain yang tidak terjaring oleh SSB maupun sekolah. Penting untuk direalisasikan disini adalah anak-anak tersebut harus sekolah dan dipacu untuk memberikan yang terbaik di sekolah.
Team Scouting PSSI pusat memantau perkembangan pemain-pemain yang
menonjol. Sebagian kecil dari mereka diundang pindah ke PUSDIKLAT tingkat
nasional. Di beberapa pusdiklat tingkat nasional ini, pemain-pemain muda
berbakat ditempa secara terus menerus
tanpa menomerduakan pendidikan formalnya. Mereka ditandingkan melawan tim-tim
yang umurnya diatas mereka, ikut kompetisi amatir di daerahnya, sekaligus sekali- duakali dalam setahun
mengikuti turnamen-turnamen di luar negeri.
Kesimpulannya jelas: harus ada sistim penjaringan pemain melalui sistim scouting yang berkualitas, berkwantitas dan independen, untuk
kemudian dibina kemampuannya secara
modern dan professional. Lets go PSSI, mari
kita menjaring pemain di laut dan bukan di danau lagi. Indonesia bisa!