12 May 2012

18 March 2012

BAGIAN 3 : AKAR MASALAH BOLA INDONESIA YANG KETIGA: INDONESIA NEGARA KELAUTAN NAMUN KITA MENJARING PEMAIN DI DANAU!

Kalau dalam dua tulisan terakhir sudah saya jabarkan  secara singkat dua akar permasalahan bola Indonesia yakni (1) fokus pengcab yang salah sekaligus  pemakaian dana APBD secara salah ,serta (2) kurangnya pendidikan pemain, pelatih, wasit dan penonton, maka kali ini secara singkat akan saya jabarkan satu lagi akar permasalahan bola Indonesia yakni penjaringan pemain.
            
          Ada seorang pemain  di pusdiklat swasta non profit yang saya bina yaitu Malang FC yang saya ambil dari pedalaman Wamena. Laban umurnya baru 15 tahun tapi sudah mampu menjebol gawang Persisam Samarinda dua kali (satu gol dianulir sehingga hasil akhir 1-1). Seorang pilot pedalaman yang merekomendasikannya kepada saya. Yang saya sedang incar saat ini adalah seorang anak kelas 3 SMP di pulau Sumba yang permainannya mirip Ronaldo. Menemukan mereka ini sebenarnya bukan tugas saya. Cerita diatas hanya secuil ilustrasi guna menggambarkan bahwa ada yang salah dalam sistim kita sekarang sehingga tidak semua pemain berbakat terindentifikasi untu kemudian dibina. Nonsense kalau orang berbicara; “ Indonesia kan Negara besar, berpenduduk 230 jutaan jiwa, kok bisa kalah bersaing dengan negara-negara yang jauh lebih kecil.” Pada kenyataannya pemain Indonesia tidak diambil dari 230 juta jiwa. Angka sebenarnya jauh dibawah itu! Faktor keberuntungan dalam menemukan pemain masih terjadi. Selain itu faktor kedekatan  atau koneksi masih terjadi. Pemain berbakat di daerah terbengkelai sehingga mereka putus sekolah lalu bekerja karena faktor ekonomi, menanggalkan bakat alam mereka yang luar biasa. Banyak pemain layu sebelum berbunga.  Hasilnya timnas Indonesia masih jauh dari arti kata sebenarnya: tim nasional!

       Lalu solusinya bagaimana? Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya setiap PENGCAB  mutlak memiliki sebuah PUSDIKLAT  berkualitas yang didanai oleh APBD setempat. Seorang pemain yang menonjol di level SSB ataupun kejuaraan antar sekolah lalu ditarik masuk kedalam PUSDIKLAT setempat. Selain itu team scouting tingkat kabupaten/kota/kepulauan juga menjemput bola dengan cara terus mencari ke desa-desa kalau-kalau ada pemain yang tidak terjaring oleh SSB maupun sekolah. Penting untuk direalisasikan disini adalah anak-anak tersebut harus sekolah dan dipacu untuk memberikan yang terbaik di sekolah.

 Team Scouting PSSI pusat memantau perkembangan pemain-pemain yang menonjol. Sebagian kecil dari mereka diundang pindah ke PUSDIKLAT tingkat nasional. Di beberapa pusdiklat tingkat nasional ini, pemain-pemain muda berbakat  ditempa secara terus menerus tanpa menomerduakan pendidikan formalnya. Mereka ditandingkan melawan tim-tim yang umurnya diatas mereka, ikut kompetisi amatir di daerahnya,  sekaligus sekali- duakali dalam setahun mengikuti turnamen-turnamen di luar negeri. 

Kesimpulannya jelas: harus ada sistim penjaringan pemain melalui sistim scouting yang berkualitas, berkwantitas dan independen, untuk kemudian dibina kemampuannya secara modern dan professional. Lets go PSSI, mari kita menjaring pemain di laut dan bukan di danau lagi. Indonesia bisa!

BAGIAN 2 : AKAR MASALAH BANGSA (TERMASUK SEPAK BOLA); YANG SEMPAT SAYA SAMPAIKAN DI KSN

         Kemarin sudah saya ceritakan tentang “pidato dalam hati saya”, alias pidato pendek yang tidak sempat saya sampaikan saat KSN. Walau secara umum saya kecewa karena hasil-hasil KSN tidak spesifik ,saya sedikit terhibur dengan diadopsinya masukan kecil saya yang kemudian menjadi rekomendasi KSN poin ke lima yang berbunyi ;“Metode pembinaan atlet pelajar/muda agar juga memperhatikan pendidikan formalnya.”

     Sebagai seorang guru (saya mengajar filsafat, sejarah dan geografi di Wesley International School, Malang), tetapi juga sebagai seorang pelatih, saya sangat menjiwai pentingnya pendidikan bagi bangsa ini secara keseluruhan dan tentu saja juga bagi seorang pemain bola. Lewat pendidikan formal seorang pemain bola diharuskan disiplin belajar hal-hal yang sebenranya tidak menarik bagi dirinya. Justru saat harus melakukan hal-hal yang kita tidak sukai kedisiplinan kita diasah. Pendidikan juga modal masa depan. Siapa yang berani menjamin pemain, walau luar biasa berbakat  sekalipun , bahwa dia akan jadi pemain profesional nantinya? Kalaupun menjadi pemain bola siapa bisa menjamin bahwa dia tidak akan cidera? Kalaupun jadi pemain dan tidak cidera,  setelah jadi pemain dia mau jadi apa? Lagipula profesionalisme bagi pemain bukan hanya menuntut otak yang cerdas saat bermain tapi juga sikap profesionalisme di dalam dan luar lapangan.

       Di PUSDIKLAT swasta non profit Malang FC, pemain-pemain pilihan dari seantero malang raya serta papua kami wajibkan berprestasi lumayan di sekolah. Bila tidak, SPP tidak lagi kami bayarkan. Apabila masih saja menomerduakan sekolah, kami keluarkan dari MFC walau super berbakat sekalipun. Hasilnya pemain-pemain kami takut dan nilai pelajaran serta sikapnya di sekolah membaik. Sepak bola harus digunakan memacu pendidikan. Di USA seorang student athlete seperti saya dulu tidak diperbolehkan main saat nilai mata kuliah berada  dibawah C. Di High School juga berlaku peraturan yang sama. Student first, athlete second!

        Karena tidak adanya PELATNAS yang terus menerus, pemain-pemain timnas KU dicomot dari sekolah selama dua bulan lebih! Saya hanya bisa berharap yang di uruguay sekolah! Seharusnya 4-5 guru dibawa ke Uruguay guna melakukan home schooling disana.

Solusinya pusat kepelatihan seperti Ragunan harus bagus kembali sehingga sekolah dan prestasi di bola bisa saling melengkapi dan tidak “bermusuhan” seperti saat ini. Sama halnya dengan PENGCAB, pemain di pusdiklatnya masing-masing (baca juga ulasan sebelumnya) harus sekolah dan nilainya harus lumayan di sekolah

Setali tiga uang dengan pendidikan pemain tentu saja adalah pendidikan wasit dan pelatih. Prinsipnya simpel; kalau guru bodo, jangan heran kalau muridnya juga bodo! PSSI pusat mutlak mengutamakan kepelatihan wasit dan pelatih sampai ke daerah-daerah. Caranya? Mutlak harus dibangun akademi kepelatihan pelatih dan wasit! Cukup di satu/dua tempat saja, yang penting sepanjang tahun terus menerus diadakan kepelatihan D, C,B dan A dibawah pengawasan dan bimbingan instruktur AFC. 

Selain itu dibutuhkan kurikulum sebagai pedoman dasar yang baku untuk SSB. Organisasi SSB juga perlu diverifikasi demi terciptanya standarisasi.  Apabila SSB tidak melakukan standar organisasi dan kepelatihan maka licence nya dicabut. By the way, untuk wasit saran saya ambil mahasiswa jurusan olahraga sebagai “bahan baku” elite wasit di daerah (dan juga di level profesional).

Selain lewat kepelatihan pelatih dan wasit secara konvensional, proses pencerdesan insan bola bangsa bisa juga di bantu oleh ssb tv, sebuah acara tv berdurasi 30 menit-1 jam/minggu yang mengulas program latihan, penjabaran tehnik tertentu, tips for coaches, memberikan masukan soal gizi dan peraturan-peraturan bola yang masih banyak tidak dimengerti oleh masa. 

Oh ya, hampir lupa, pendidikan penonton dengan cara merangkul dedengkot penonton secara terus menerus (jadi bukan hanya apabila terjadi masalah saja) juga penting tentunya.

Tidak bisa tidak ,my friends, jalan menuju kemajuan bangsa ini adalah melaui pendidikan! Pendidikan pemain, pelatih, wasit, juga penonton. Pendidikan , pendidikan dan pendidikan! Karena itulah di saat-saat terakhir KSN saya menanggalkan sejenak sikap njawani saya untuk kemudian memberanikan diri  berbicara secuil tentang hal ini. Ternyata walau lahir di Jawa, sebagian diri saya masih Jerman.

17 March 2012

BAGIAN 1 : AKAR MASALAH SEPAK BOLA INDONESIA; YANG TIDAK SEMPAT SAYA SAMPAIKAN DI KSN

Waktu yang tersedia saat KSN begitu pendek. Selain itu, karena banyaknya pihak yang ingin menyampaikan opininya, saya hanya bisa terdiam sambil mendengarkan simpang siurnya pendapat-pendapat yang dikumandangkan. Dari sekian banyak opini saya tidak melihat adanya perdebatan tentang akar masalah yang sebenarnya. Yang disebutkan hanyalah sebatas symptom permasalahan tanpa menelaah virus itu sendiri.
                         
 Andai saja saya dilahirkan di Stuttgat, Jerman, pada tahun ’73 dan bukan di desa Songgokerto Batu , Jatim, mungkin kepribadian “njawani” saya tidak akan menahan saya untuk merebut pengeras suara lalu berpidato sejenak: “Sudah 10 tahun saya membina Malang FC (www.malangfc.org), sebuah pusdiklat swasta non profit. Sebagai praktisi di lapangan perlu saya sampaikan bahwa akar masalah bola Indonesia terletak pada fokus PENGCAB yang salah dan penggunaan APBD yang salah. Fokus PENGCAB seharusnya tidak ada pada kepengurusan dan pendanaan tim prof daerahnya. Dana dan fokus PENGCAB seharusnya diarahkan pada ;(1) PUSDIKLAT berbagai kelompok umur, (2) kompetisi kelompok umur, (3) kompetisi amatir , (4) kepelatihan pelatih dan wasit hingga ke desa-desa, dan terakhir (5) memperjuangkan pengadaan fasilitas dan infrastruktur. Tentu saja PSSI pusat harus menolong dan mengarahkan dengan tindakan-tindakan yang nyata dan secara total, tidak sporadis atau bahkan lepas tangan seperti sekarang. 


Dana APBD sudah sepantasnya dikucurkan dalam jumlah besar, hanya saja penggunaannya ke arah future investment bukan “membakar uang” seperti sekarang. Tidak ada negara yang sepakbolanya maju yang mengatur kompetisinya seperti kita. PENGCAB   mendanai dan megurusi klub profesional adalah barang kuno dan harus diberantas karena memicu kentalnya aroma politik dan mengundang terjadinya praktek-praktek yang jauh dari semboyan fair play. Di saat yang sama “pancasila” tugas PENGCAB  yang sebenarnya terbengkelai. Terima kasih atas perhatiannya. Indonesia bisa!”


Andai saja saya dilahirkan di Jerman!

Akademi Nusantara untuk semua!

Belakangan ini ada tuduhan miring. Diisukan pemilihan pemain untuk masuk akademi nusantara dilakukan secara diskriminatif. Tuduhan ini tidak benar. Saya pribadi memiliki 3 prinsip pokok mengenai sepak bola di indonesia: 1. no apbd dan no politics in football  2. fair play ("play to win and may the best team win" ie tidak ada permainan non tehnis, 3. sepak bola indonesia harus untuk semua (bukan untuk golongan tertentu atau darah-daerah tertentu saja di indonesia).
 
Apabila ada pemain yang tidak boleh ikut seleksi karena afiliasi tertentu (dengan golongan yang bersebrangan dengan PSSI) maka hal tersebut tentu saja menyalahi prinsip saya sendiri (prinsip ke tiga). Saya sendiri tidak akan mau bekerja sama dengan PSSI membangun usia muda apabila ada policy diskriminatif. Sudah cukup kesedihan saya melihat (karena adanya aturan dari FIFA) pemain senior tidak semuanya diperbolehkan main di timnas. Perlu saya tegaskan bahwa peraturan FIFA tersebut tidak berlaku untuk pemain usia muda. Di Balikpapan, contohnya, terjaring beberapa pemain asal ssb yang berafiliasi dengan PERSISAM samarinda (klub ISL). Saat seleksi saya tidak melihat asal SSB/daerah/dll demi objektifitas.
 
Saya sangat berterima kasih apabila ada laporan baik positif maupun negatif tentang kenyataan yang terjadi di lapangan. Perlu diketahui, sistim seleksi baru yang tengah dikembangkan ini memang sangat ketat sehingga hanya segelintir pemain yang berhasil lolos. Ini tentu saja berpotensi memicu kekecewaan. Selain itu karena sistim ini masih baru masih banyak pihak yang terlibat didalamnya belum paham sepenuhnya tentang prosedur tehnis dll. inilah yang terjadi di Bandung. Saya tegaskan sekali lagi tidak terjadi perlakuan diskriminatif. Semua pemain u12 (untuk keperluan timnas KU 12 dan bukan untuk keperluan akademi nusantara karena akademi nusantara diperuntukan pemain berumur 15-18 tahun) dari ssb manapun diperbolehkan dan telah  ikut seleksi. Yang terjadi, karena takut ada pemain yang nantinya tidak diperbolehkan ikut ke Jepang karena berafiliasi dengan tim sebrang, (menurut pengakuan scout koordinator pemainnya sendiri tetap diperbolehkan ikut seleksi!) scout koordinator Bandung, secara pribadi, berinisiatif mencoret data asal ssb pemain. Maksudnya sebenarnya baik yakni apabila ada ego pengurus yang menghalangi pemain di kemudian hari pemain tidak dirugikan karena asal pemain tidak tercantum. Ini yang mengakibatkan salah paham dari pihak ssb pemain. Pada kenyataannya, tidak ada policy pemilihan pemain di tingkat umur usia muda oleh PSSI Pusat.
 
 Itu hasil investigasi saya atas tuduhan kontraversial tadi. Kalau sampai ada policy yang demikian di tingkat usia muda maka saya tidak akan mau berjuang demi pengembangan usia muda Indonesia. Tiga prinsip saya tadi hukumnya mutlak bagi saya pribadi. Anda boleh percaya atau tidak, tapi saya bekerja untuk Indonesia dan Tuhan, bukan untuk golongan tertentu.
 
Semoga di kemudian hari apabila ada laporan tidak langsung diberitakan di Televisi tanpa ada konfirmasi terlebih dahulu. Semua pihak harus menahan diri sehingga perpecahan yang ada di level atas tidak menjalar ke level grass root. Kalau sampai grass root juga pecah, saya tidak bisa membayangkan betapa suramnya masa depan sepak bola Indonesia yang sudah tertinggal jauh ini.
 
Doa saya cepat ada persatuan dan ketegasan hukum di Indonesia dalam segala hal,  termasuk di bidang Sepak Bola.