REVISI KURIKULUM SEPAK BOLA INDONESIA
per Oktober 2012
PART 1 : https://docs.google.com/open?id=0B0E6Ws6Rzh2hNk9yNnYzM2NVY00
PART 2 : https://docs.google.com/open?id=0B0E6Ws6Rzh2hSzk3MTRuTV9LMTA
08 November 2012
12 May 2012
KURIKULUM SEPAK BOLA INDONESIA
12 April 2012
BERBAGAI CARA MENGEVALUASI FISIK PEMAIN SECARA OBYEKTIF DAN PRAKTIS
Klik link dibawah untuk melihat cara mengevaluasi fisik pemain seacara obyektif dan praktis.
18 March 2012
BAGIAN 3 : AKAR MASALAH BOLA INDONESIA YANG KETIGA: INDONESIA NEGARA KELAUTAN NAMUN KITA MENJARING PEMAIN DI DANAU!
Kalau dalam dua tulisan terakhir sudah saya jabarkan secara singkat dua akar permasalahan bola
Indonesia yakni (1) fokus pengcab yang salah sekaligus pemakaian dana APBD secara salah ,serta (2)
kurangnya pendidikan pemain, pelatih, wasit dan penonton, maka kali ini secara
singkat akan saya jabarkan satu lagi akar permasalahan bola Indonesia yakni
penjaringan pemain.
Ada seorang pemain di pusdiklat swasta non profit yang saya bina
yaitu Malang FC yang saya ambil dari pedalaman Wamena. Laban umurnya baru 15
tahun tapi sudah mampu menjebol gawang Persisam Samarinda dua kali (satu gol
dianulir sehingga hasil akhir 1-1). Seorang pilot pedalaman yang
merekomendasikannya kepada saya. Yang saya sedang incar saat ini adalah seorang
anak kelas 3 SMP di pulau Sumba yang permainannya mirip Ronaldo. Menemukan
mereka ini sebenarnya bukan tugas saya. Cerita diatas hanya secuil ilustrasi
guna menggambarkan bahwa ada yang salah dalam sistim kita sekarang sehingga
tidak semua pemain berbakat terindentifikasi untu kemudian dibina. Nonsense kalau orang berbicara; “ Indonesia kan Negara besar, berpenduduk 230 jutaan jiwa, kok bisa kalah bersaing dengan negara-negara yang jauh lebih
kecil.” Pada kenyataannya pemain Indonesia tidak diambil dari 230 juta jiwa.
Angka sebenarnya jauh dibawah itu! Faktor keberuntungan dalam menemukan pemain
masih terjadi. Selain itu faktor kedekatan
atau koneksi masih terjadi. Pemain berbakat di daerah terbengkelai
sehingga mereka putus sekolah lalu bekerja karena faktor ekonomi, menanggalkan
bakat alam mereka yang luar biasa. Banyak pemain layu sebelum berbunga. Hasilnya timnas Indonesia masih jauh dari arti
kata sebenarnya: tim nasional!
Lalu solusinya bagaimana? Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya setiap PENGCAB mutlak memiliki sebuah PUSDIKLAT berkualitas yang didanai oleh APBD setempat. Seorang pemain yang menonjol di level SSB ataupun kejuaraan antar sekolah lalu ditarik masuk kedalam PUSDIKLAT setempat. Selain itu team scouting tingkat kabupaten/kota/kepulauan juga menjemput bola dengan cara terus mencari ke desa-desa kalau-kalau ada pemain yang tidak terjaring oleh SSB maupun sekolah. Penting untuk direalisasikan disini adalah anak-anak tersebut harus sekolah dan dipacu untuk memberikan yang terbaik di sekolah.
Lalu solusinya bagaimana? Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya setiap PENGCAB mutlak memiliki sebuah PUSDIKLAT berkualitas yang didanai oleh APBD setempat. Seorang pemain yang menonjol di level SSB ataupun kejuaraan antar sekolah lalu ditarik masuk kedalam PUSDIKLAT setempat. Selain itu team scouting tingkat kabupaten/kota/kepulauan juga menjemput bola dengan cara terus mencari ke desa-desa kalau-kalau ada pemain yang tidak terjaring oleh SSB maupun sekolah. Penting untuk direalisasikan disini adalah anak-anak tersebut harus sekolah dan dipacu untuk memberikan yang terbaik di sekolah.
Team Scouting PSSI pusat memantau perkembangan pemain-pemain yang
menonjol. Sebagian kecil dari mereka diundang pindah ke PUSDIKLAT tingkat
nasional. Di beberapa pusdiklat tingkat nasional ini, pemain-pemain muda
berbakat ditempa secara terus menerus
tanpa menomerduakan pendidikan formalnya. Mereka ditandingkan melawan tim-tim
yang umurnya diatas mereka, ikut kompetisi amatir di daerahnya, sekaligus sekali- duakali dalam setahun
mengikuti turnamen-turnamen di luar negeri.
Kesimpulannya jelas: harus ada sistim penjaringan pemain melalui sistim scouting yang berkualitas, berkwantitas dan independen, untuk
kemudian dibina kemampuannya secara
modern dan professional. Lets go PSSI, mari
kita menjaring pemain di laut dan bukan di danau lagi. Indonesia bisa!
BAGIAN 2 : AKAR MASALAH BANGSA (TERMASUK SEPAK BOLA); YANG SEMPAT SAYA SAMPAIKAN DI KSN
Kemarin sudah saya ceritakan tentang
“pidato dalam hati saya”, alias pidato pendek yang tidak sempat saya sampaikan
saat KSN. Walau secara umum saya kecewa karena hasil-hasil KSN tidak spesifik
,saya sedikit terhibur dengan diadopsinya masukan kecil saya yang kemudian
menjadi rekomendasi KSN poin ke lima yang berbunyi ;“Metode pembinaan atlet
pelajar/muda agar juga memperhatikan pendidikan formalnya.”
Sebagai seorang guru (saya mengajar
filsafat, sejarah dan geografi di Wesley
International School, Malang), tetapi juga sebagai seorang pelatih, saya
sangat menjiwai pentingnya pendidikan bagi bangsa ini secara keseluruhan dan
tentu saja juga bagi seorang pemain bola. Lewat pendidikan formal seorang
pemain bola diharuskan disiplin belajar hal-hal yang sebenranya tidak menarik
bagi dirinya. Justru saat harus melakukan hal-hal yang kita tidak sukai kedisiplinan
kita diasah. Pendidikan juga modal masa depan. Siapa yang berani menjamin
pemain, walau luar biasa berbakat
sekalipun , bahwa dia akan jadi pemain profesional nantinya? Kalaupun
menjadi pemain bola siapa bisa menjamin bahwa dia tidak akan cidera? Kalaupun
jadi pemain dan tidak cidera, setelah
jadi pemain dia mau jadi apa? Lagipula profesionalisme bagi pemain bukan hanya
menuntut otak yang cerdas saat bermain tapi juga sikap profesionalisme di dalam dan luar lapangan.
Di PUSDIKLAT swasta non profit
Malang FC, pemain-pemain pilihan dari seantero malang raya serta papua kami
wajibkan berprestasi lumayan di sekolah. Bila tidak, SPP tidak lagi kami
bayarkan. Apabila masih saja menomerduakan sekolah, kami keluarkan dari MFC
walau super berbakat sekalipun. Hasilnya pemain-pemain kami takut dan nilai
pelajaran serta sikapnya di sekolah membaik. Sepak bola harus digunakan memacu
pendidikan. Di USA seorang student
athlete seperti saya dulu tidak diperbolehkan main saat nilai mata kuliah
berada dibawah C. Di High School juga berlaku peraturan yang
sama. Student first, athlete second!
Karena tidak adanya PELATNAS yang
terus menerus, pemain-pemain timnas KU dicomot dari sekolah selama dua bulan
lebih! Saya hanya bisa berharap yang di uruguay sekolah! Seharusnya 4-5 guru
dibawa ke Uruguay guna melakukan home
schooling disana.
Solusinya pusat
kepelatihan seperti Ragunan harus bagus kembali sehingga sekolah dan prestasi
di bola bisa saling melengkapi dan tidak “bermusuhan” seperti saat ini. Sama
halnya dengan PENGCAB, pemain di pusdiklatnya masing-masing (baca juga ulasan
sebelumnya) harus sekolah dan nilainya harus lumayan di sekolah
Setali tiga uang dengan pendidikan pemain tentu saja adalah
pendidikan wasit dan pelatih. Prinsipnya simpel; kalau guru bodo, jangan heran
kalau muridnya juga bodo! PSSI pusat mutlak mengutamakan kepelatihan wasit dan pelatih sampai ke daerah-daerah.
Caranya? Mutlak harus dibangun akademi kepelatihan pelatih dan wasit! Cukup di
satu/dua tempat saja, yang penting sepanjang tahun terus menerus diadakan
kepelatihan D, C,B dan A dibawah pengawasan dan bimbingan instruktur AFC.
Selain itu dibutuhkan kurikulum sebagai pedoman dasar yang
baku untuk SSB. Organisasi SSB juga perlu diverifikasi demi terciptanya
standarisasi. Apabila SSB tidak
melakukan standar organisasi dan kepelatihan maka licence nya dicabut. By the
way, untuk wasit saran saya ambil mahasiswa jurusan olahraga sebagai “bahan
baku” elite wasit di daerah (dan juga
di level profesional).
Selain lewat kepelatihan pelatih dan wasit secara
konvensional, proses pencerdesan insan bola bangsa bisa juga di bantu oleh ssb tv, sebuah acara tv berdurasi 30
menit-1 jam/minggu yang mengulas program latihan, penjabaran tehnik tertentu, tips for coaches, memberikan masukan
soal gizi dan peraturan-peraturan bola yang masih banyak tidak dimengerti oleh
masa.
Oh ya, hampir lupa, pendidikan penonton
dengan cara merangkul dedengkot penonton secara terus menerus (jadi bukan hanya
apabila terjadi masalah saja) juga penting tentunya.
Tidak bisa tidak ,my
friends, jalan menuju kemajuan bangsa ini adalah melaui pendidikan!
Pendidikan pemain, pelatih, wasit, juga penonton. Pendidikan , pendidikan dan
pendidikan! Karena itulah di saat-saat terakhir KSN saya menanggalkan sejenak
sikap njawani saya untuk kemudian
memberanikan diri berbicara secuil
tentang hal ini. Ternyata walau lahir di Jawa, sebagian diri saya masih Jerman.
17 March 2012
BAGIAN 1 : AKAR MASALAH SEPAK BOLA INDONESIA; YANG TIDAK SEMPAT SAYA SAMPAIKAN DI KSN
Waktu yang
tersedia saat KSN begitu pendek. Selain itu, karena banyaknya pihak yang ingin
menyampaikan opininya, saya hanya bisa terdiam sambil mendengarkan simpang
siurnya pendapat-pendapat yang dikumandangkan. Dari sekian banyak opini saya
tidak melihat adanya perdebatan tentang akar masalah yang sebenarnya. Yang
disebutkan hanyalah sebatas symptom permasalahan tanpa menelaah virus itu
sendiri.
Andai saja saya dilahirkan di Stuttgat, Jerman, pada tahun ’73 dan bukan di desa Songgokerto Batu , Jatim, mungkin kepribadian “njawani” saya tidak akan menahan saya untuk merebut pengeras suara lalu berpidato sejenak: “Sudah 10 tahun saya membina Malang FC (www.malangfc.org), sebuah pusdiklat swasta non profit. Sebagai praktisi di lapangan perlu saya sampaikan bahwa akar masalah bola Indonesia terletak pada fokus PENGCAB yang salah dan penggunaan APBD yang salah. Fokus PENGCAB seharusnya tidak ada pada kepengurusan dan pendanaan tim prof daerahnya. Dana dan fokus PENGCAB seharusnya diarahkan pada ;(1) PUSDIKLAT berbagai kelompok umur, (2) kompetisi kelompok umur, (3) kompetisi amatir , (4) kepelatihan pelatih dan wasit hingga ke desa-desa, dan terakhir (5) memperjuangkan pengadaan fasilitas dan infrastruktur. Tentu saja PSSI pusat harus menolong dan mengarahkan dengan tindakan-tindakan yang nyata dan secara total, tidak sporadis atau bahkan lepas tangan seperti sekarang.
Dana APBD sudah sepantasnya dikucurkan dalam jumlah besar, hanya saja penggunaannya ke arah future investment bukan “membakar uang” seperti sekarang. Tidak ada negara yang sepakbolanya maju yang mengatur kompetisinya seperti kita. PENGCAB mendanai dan megurusi klub profesional adalah barang kuno dan harus diberantas karena memicu kentalnya aroma politik dan mengundang terjadinya praktek-praktek yang jauh dari semboyan fair play. Di saat yang sama “pancasila” tugas PENGCAB yang sebenarnya terbengkelai. Terima kasih atas perhatiannya. Indonesia bisa!”
Andai saja saya dilahirkan di Jerman!
Akademi Nusantara untuk semua!
Belakangan ini ada tuduhan miring. Diisukan pemilihan pemain untuk masuk
akademi nusantara dilakukan secara diskriminatif. Tuduhan ini tidak
benar. Saya pribadi memiliki 3 prinsip pokok mengenai sepak bola di
indonesia: 1. no apbd dan no politics in football 2. fair play ("play
to win and may the best team win" ie tidak ada permainan non tehnis, 3.
sepak bola indonesia harus untuk semua (bukan untuk golongan tertentu
atau darah-daerah tertentu saja di indonesia).
Apabila ada pemain
yang tidak boleh ikut seleksi karena afiliasi tertentu (dengan golongan
yang bersebrangan dengan PSSI) maka hal tersebut tentu saja menyalahi
prinsip saya sendiri (prinsip ke tiga). Saya sendiri tidak akan mau
bekerja sama dengan PSSI membangun usia muda apabila ada policy
diskriminatif. Sudah cukup kesedihan saya melihat (karena adanya aturan
dari FIFA) pemain senior tidak semuanya diperbolehkan main di timnas.
Perlu saya tegaskan bahwa peraturan FIFA tersebut tidak berlaku untuk
pemain usia muda. Di Balikpapan, contohnya, terjaring beberapa pemain
asal ssb yang berafiliasi dengan PERSISAM samarinda (klub ISL). Saat
seleksi saya tidak melihat asal SSB/daerah/dll demi objektifitas.
Saya
sangat berterima kasih apabila ada laporan baik positif maupun negatif
tentang kenyataan yang terjadi di lapangan. Perlu diketahui, sistim
seleksi baru yang tengah dikembangkan ini memang sangat ketat sehingga
hanya segelintir pemain yang berhasil lolos. Ini tentu saja berpotensi
memicu kekecewaan. Selain itu karena sistim ini masih baru masih banyak
pihak yang terlibat didalamnya belum paham sepenuhnya tentang prosedur
tehnis dll. inilah yang terjadi di Bandung. Saya tegaskan sekali lagi
tidak terjadi perlakuan diskriminatif. Semua pemain u12 (untuk keperluan
timnas KU 12 dan bukan untuk keperluan akademi nusantara karena akademi
nusantara diperuntukan pemain berumur 15-18 tahun) dari ssb manapun
diperbolehkan dan telah ikut seleksi. Yang terjadi, karena takut ada
pemain yang nantinya tidak diperbolehkan ikut ke Jepang karena
berafiliasi dengan tim sebrang, (menurut pengakuan scout koordinator
pemainnya sendiri tetap diperbolehkan ikut seleksi!) scout koordinator
Bandung, secara pribadi, berinisiatif mencoret data asal ssb pemain.
Maksudnya sebenarnya baik yakni apabila ada ego pengurus yang
menghalangi pemain di kemudian hari pemain tidak dirugikan karena asal
pemain tidak tercantum. Ini yang mengakibatkan salah paham dari pihak
ssb pemain. Pada kenyataannya, tidak ada policy pemilihan pemain di
tingkat umur usia muda oleh PSSI Pusat.
Itu hasil investigasi saya
atas tuduhan kontraversial tadi. Kalau sampai ada policy yang demikian
di tingkat usia muda maka saya tidak akan mau berjuang demi pengembangan
usia muda Indonesia. Tiga prinsip saya tadi hukumnya mutlak bagi saya
pribadi. Anda boleh percaya atau tidak, tapi saya bekerja untuk
Indonesia dan Tuhan, bukan untuk golongan tertentu.
Semoga di
kemudian hari apabila ada laporan tidak langsung diberitakan di Televisi
tanpa ada konfirmasi terlebih dahulu. Semua pihak harus menahan diri
sehingga perpecahan yang ada di level atas tidak menjalar ke level grass
root. Kalau sampai grass root juga pecah, saya tidak bisa membayangkan
betapa suramnya masa depan sepak bola Indonesia yang sudah tertinggal
jauh ini.
Doa saya cepat ada persatuan dan ketegasan hukum di Indonesia dalam segala hal, termasuk di bidang Sepak Bola.
Subscribe to:
Posts (Atom)