Waktu yang
tersedia saat KSN begitu pendek. Selain itu, karena banyaknya pihak yang ingin
menyampaikan opininya, saya hanya bisa terdiam sambil mendengarkan simpang
siurnya pendapat-pendapat yang dikumandangkan. Dari sekian banyak opini saya
tidak melihat adanya perdebatan tentang akar masalah yang sebenarnya. Yang
disebutkan hanyalah sebatas symptom permasalahan tanpa menelaah virus itu
sendiri.
Andai saja saya dilahirkan di Stuttgat, Jerman, pada tahun ’73 dan bukan di desa Songgokerto Batu , Jatim, mungkin kepribadian “njawani” saya tidak akan menahan saya untuk merebut pengeras suara lalu berpidato sejenak: “Sudah 10 tahun saya membina Malang FC (www.malangfc.org), sebuah pusdiklat swasta non profit. Sebagai praktisi di lapangan perlu saya sampaikan bahwa akar masalah bola Indonesia terletak pada fokus PENGCAB yang salah dan penggunaan APBD yang salah. Fokus PENGCAB seharusnya tidak ada pada kepengurusan dan pendanaan tim prof daerahnya. Dana dan fokus PENGCAB seharusnya diarahkan pada ;(1) PUSDIKLAT berbagai kelompok umur, (2) kompetisi kelompok umur, (3) kompetisi amatir , (4) kepelatihan pelatih dan wasit hingga ke desa-desa, dan terakhir (5) memperjuangkan pengadaan fasilitas dan infrastruktur. Tentu saja PSSI pusat harus menolong dan mengarahkan dengan tindakan-tindakan yang nyata dan secara total, tidak sporadis atau bahkan lepas tangan seperti sekarang.
Dana APBD sudah sepantasnya dikucurkan dalam jumlah besar, hanya saja penggunaannya ke arah future investment bukan “membakar uang” seperti sekarang. Tidak ada negara yang sepakbolanya maju yang mengatur kompetisinya seperti kita. PENGCAB mendanai dan megurusi klub profesional adalah barang kuno dan harus diberantas karena memicu kentalnya aroma politik dan mengundang terjadinya praktek-praktek yang jauh dari semboyan fair play. Di saat yang sama “pancasila” tugas PENGCAB yang sebenarnya terbengkelai. Terima kasih atas perhatiannya. Indonesia bisa!”
Andai saja saya dilahirkan di Jerman!
No comments:
Post a Comment