Kemarin sudah saya ceritakan tentang
“pidato dalam hati saya”, alias pidato pendek yang tidak sempat saya sampaikan
saat KSN. Walau secara umum saya kecewa karena hasil-hasil KSN tidak spesifik
,saya sedikit terhibur dengan diadopsinya masukan kecil saya yang kemudian
menjadi rekomendasi KSN poin ke lima yang berbunyi ;“Metode pembinaan atlet
pelajar/muda agar juga memperhatikan pendidikan formalnya.”
Sebagai seorang guru (saya mengajar
filsafat, sejarah dan geografi di Wesley
International School, Malang), tetapi juga sebagai seorang pelatih, saya
sangat menjiwai pentingnya pendidikan bagi bangsa ini secara keseluruhan dan
tentu saja juga bagi seorang pemain bola. Lewat pendidikan formal seorang
pemain bola diharuskan disiplin belajar hal-hal yang sebenranya tidak menarik
bagi dirinya. Justru saat harus melakukan hal-hal yang kita tidak sukai kedisiplinan
kita diasah. Pendidikan juga modal masa depan. Siapa yang berani menjamin
pemain, walau luar biasa berbakat
sekalipun , bahwa dia akan jadi pemain profesional nantinya? Kalaupun
menjadi pemain bola siapa bisa menjamin bahwa dia tidak akan cidera? Kalaupun
jadi pemain dan tidak cidera, setelah
jadi pemain dia mau jadi apa? Lagipula profesionalisme bagi pemain bukan hanya
menuntut otak yang cerdas saat bermain tapi juga sikap profesionalisme di dalam dan luar lapangan.
Di PUSDIKLAT swasta non profit
Malang FC, pemain-pemain pilihan dari seantero malang raya serta papua kami
wajibkan berprestasi lumayan di sekolah. Bila tidak, SPP tidak lagi kami
bayarkan. Apabila masih saja menomerduakan sekolah, kami keluarkan dari MFC
walau super berbakat sekalipun. Hasilnya pemain-pemain kami takut dan nilai
pelajaran serta sikapnya di sekolah membaik. Sepak bola harus digunakan memacu
pendidikan. Di USA seorang student
athlete seperti saya dulu tidak diperbolehkan main saat nilai mata kuliah
berada dibawah C. Di High School juga berlaku peraturan yang
sama. Student first, athlete second!
Karena tidak adanya PELATNAS yang
terus menerus, pemain-pemain timnas KU dicomot dari sekolah selama dua bulan
lebih! Saya hanya bisa berharap yang di uruguay sekolah! Seharusnya 4-5 guru
dibawa ke Uruguay guna melakukan home
schooling disana.
Solusinya pusat
kepelatihan seperti Ragunan harus bagus kembali sehingga sekolah dan prestasi
di bola bisa saling melengkapi dan tidak “bermusuhan” seperti saat ini. Sama
halnya dengan PENGCAB, pemain di pusdiklatnya masing-masing (baca juga ulasan
sebelumnya) harus sekolah dan nilainya harus lumayan di sekolah
Setali tiga uang dengan pendidikan pemain tentu saja adalah
pendidikan wasit dan pelatih. Prinsipnya simpel; kalau guru bodo, jangan heran
kalau muridnya juga bodo! PSSI pusat mutlak mengutamakan kepelatihan wasit dan pelatih sampai ke daerah-daerah.
Caranya? Mutlak harus dibangun akademi kepelatihan pelatih dan wasit! Cukup di
satu/dua tempat saja, yang penting sepanjang tahun terus menerus diadakan
kepelatihan D, C,B dan A dibawah pengawasan dan bimbingan instruktur AFC.
Selain itu dibutuhkan kurikulum sebagai pedoman dasar yang
baku untuk SSB. Organisasi SSB juga perlu diverifikasi demi terciptanya
standarisasi. Apabila SSB tidak
melakukan standar organisasi dan kepelatihan maka licence nya dicabut. By the
way, untuk wasit saran saya ambil mahasiswa jurusan olahraga sebagai “bahan
baku” elite wasit di daerah (dan juga
di level profesional).
Selain lewat kepelatihan pelatih dan wasit secara
konvensional, proses pencerdesan insan bola bangsa bisa juga di bantu oleh ssb tv, sebuah acara tv berdurasi 30
menit-1 jam/minggu yang mengulas program latihan, penjabaran tehnik tertentu, tips for coaches, memberikan masukan
soal gizi dan peraturan-peraturan bola yang masih banyak tidak dimengerti oleh
masa.
Oh ya, hampir lupa, pendidikan penonton
dengan cara merangkul dedengkot penonton secara terus menerus (jadi bukan hanya
apabila terjadi masalah saja) juga penting tentunya.
Tidak bisa tidak ,my
friends, jalan menuju kemajuan bangsa ini adalah melaui pendidikan!
Pendidikan pemain, pelatih, wasit, juga penonton. Pendidikan , pendidikan dan
pendidikan! Karena itulah di saat-saat terakhir KSN saya menanggalkan sejenak
sikap njawani saya untuk kemudian
memberanikan diri berbicara secuil
tentang hal ini. Ternyata walau lahir di Jawa, sebagian diri saya masih Jerman.
Setuju! Coach Timo, saya coba membangun web site (sekolahbola.blogspot.com) dengan tujuan & motivasi yang sama. Suatu media internet yang fokus pada pengembangan usia dini, mengedepankan poin-poin yang coach sampaikan. Berita SSB, liga, turnamen, program, teknik, tips, gizi, beasiswa, daftar sekolah, agen dsb. Mencoba untuk se-comprehensive & se-update mungkin. Semoga bisa menjadi media yang membangun masyarakat bola, bukan yang nJawani atau nJermani, tapi yang Cerdas dari Indonesia!
ReplyDelete